Game Theory, Terorisme, & Kapitalisme

Pendahuluan.

Game theory pertama kali dikembangkan oleh John von Neumann dan Oscar Morgensten pada tahun 1944 sebagai aplikasi teori matematika guna menganalisis interaksi antara individu, perusahaan, bahkan negara. Tokoh lain yang dianggap penting dalam perkembangan teori ini adalah John Nash, yang menemukan konsep keseimbangan dalam sebuah interaksi di antara dua pihak (dinamai keseimbangan Nash). Keseimbangan Nash menggambarkan kondisi di mana satu pihak mengambil keputusan optimal berdasar keputusan pihak lain.

 

Dalam bidang militer atau diplomasi, game theory digunakan sebagai alat analisis untuk memprediksi keputusan sebuah negara untuk memulai atau mengakhiri konflik, untuk beraliansi dengan negara lain atau tidak, dan sebagainya.

 

Negara Adidaya Global.

Sejak bom atom meletus di akhir Perang Dunia (PD) II, kejayaan imperium Inggris resmi berakhir, dan babak dominasi Amerika Serikat pun dimulai. Sejak PD II, Amerika telah mendominasi dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya. Namun, 50 tahun setelah itu Amerika tidak lagi menikmati kejayaannya sejak invasinya ke Irak dan Afganistan yang telah menghabiskan banyak sumberdaya. Krisis ekonomi global telah membuat Amerika semakin terpuruk dan mulai bergantung pada intervensi sosialisme untuk menggulirkan roda ekonominya kembali. Upaya ini pun ternyata gagal ketika Amerika mulai memasuki resesi kedua di bulan Juli 2010. Dengan demikian keberadaan Amerika di dunia pun menjadi sulit untuk dipertahankan.

[Image]

Belajar dari Tumbangya Rezim di Tunisia

Kejatuhan rezim diktator boneka Barat yang menerapkan kapitalisme tinggal menunggu waktu, perubahan ke arah tegaknya syariah dan Khilafah akan menjadi solusi di masa depan

Akhirnya rezim Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali tumbang. Penguasa diktator yang telah memerintah selama 23 tahun, melarikan diri ke Saudi Arabia. Ben Ali dipaksa mundur karena gelombang unjuk rasa anti pemerintah. Kegagalan Ben Ali menyejahterakan rakyat ditambah pemerintahan yang represif selama ini membuat rezim ini tumbang.

Ben Ali dikenal anti Islam, jilbab dilarang. Polisi akan menangkap wanita di jalan yang memakai jilbab . Aktifis yang memperjuangkan syariah dan Khilafah disiksa dan dijebloskan ke dalam bui . Ben Ali juga bernafsu merubah akar Islam Tunisia menjadi masyarakat liberal ala Perancis yang menjadi tuannya. Continue reading “Belajar dari Tumbangya Rezim di Tunisia”

Kaum Liberal Tolak Kaitkan Bencana Dengan Adzab Allah SWT

Di saat bencana datang bertubi-tubi menimpa negeri dan umat Islam mulai intropeksi diri atas teguran Ilahi, kaum liberal malah menolak mengaitkan bencana dengan adzab Allah SWT. Menurut mereka seluruh bencana alam yang terjadi hanyalah proses alam saja. Masya Allah, keterlaluan…!

Kaum Liberal Tak Percaya Bencana Adalah Adzab Allah SWT

Dalam diskusi bertajuk “Politisasi Bencana” yang digelar oleh Serikat Jaringan untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta, Jumat (5/11/2010), Ulil Abshar abdalla, tokoh kaum liberal menolak jika bencana yang terjadi adalah adzab dari Allah SWT. Menurutnya telah terjadi salah penafsiran terhadap kitab suci.

“Ada semacam template di kitab suci tentang bencana. Misalnya, ada cerita saat manusia membangkang kepada Tuhan kemudian Tuhan menghancurkan seluruh muka bumi. Nah, waktu sekarang ada bencana, para tokoh ini langsung mengambil template itu. Menurut saya, jangan dihubung-hubungkan, ini proses alam saja.” Continue reading “Kaum Liberal Tolak Kaitkan Bencana Dengan Adzab Allah SWT”

Hukum Pengasuhan Anak (Bagian 1)

Definisi Hadhânah

Hadhânah secara harfiah adalah memasukkan sesuatu dalam buaian (dhamm as-syai’ ilâ al-hadhan), yaitu janb (posisi antara ketiak hingga pundak), dada, dua pundak dan di antara keduanya. Ketika Anda menyatakan, “Hadhanta as-syai’ wahtadhantahu (Anda mengasuh sesuatu).” Jika Anda memasukkannya dalam dekapan. Seorang ibu dikatakan mengasuh anaknya, ketika dia memasukkannya dalam dekapan (dada)-nya.

Sedangkan hadhânah secara syar’i adalah merawat anak yang belum bisa mengurus urusannya secara mandiri, seperti mengurus makanan, pakaian, tidur, kebersihan, kesehatan dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mencelakakan dan membahayakannya. [Image]

Sumber Kehancuran Kekhalifahan Utsmani: Sebuah Analisis Keekonomian


Kekhalifahan Utsmani (Ottoman Empire) pada tahun 1683 memiliki wilayah yang membentang masuk ke daratan Eropa, Afrika dan Asia, pada zamannya adalah kekaisaran terbesar dan terlama yang pernah ada dalam sejarah bumi modern. Kekhalifahan ini berdiri selama 625 tahun, sejak berdiri 1299 dan dijatuhkan pada 1923. Sumber kehancurannya terletak pada aspek produktivitas ekonomi bukan pada aspek persenjataan dan ketentaraan.

Sejak penguasa pertama Utsmani pada tahun 1299 yang dikenal dengan Utsman I yang hanya menguasai daratan Anatolia yang berbatasan dengan kekaisaran Bizantium Romawi, Kekhalifahan ini bertambah besar dan ditakuti baik oleh barat maupun timur. Continue reading “Sumber Kehancuran Kekhalifahan Utsmani: Sebuah Analisis Keekonomian”

Meramu APBN Syariah

Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah? Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?

Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan. [Image]

Khilafah vs Demokrasi

Sejak keruntuhan Khilafah pada 28 Rajab 1342 H, 89 tahun lalu, bisa disebut hampir sebagian besar Dunia Islam mengadopsi sistem demokrasi. Harapannya, sistem demokrasi akan membuat Dunia Islam lebih baik, ternyata tidak. Dunia Islam tetap saja mengidap berbagai persoalan yang akut seperti kemiskinan, kebodohan, pembantaian dan konflik yang berkepanjangan.

Di sisi lain, arus besar untuk kembali ke sistem Khilafah semakin menguat. Ada pernyataan berulang: Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi sampai saat ini merupakan sistem terbaik untuk melawan sistem totaliter. Muncul pula pertanyaan berulang: Kebaikan apa yang ditawarkan sistem Khilafah untuk menggantikan sistem demokrasi? Bisakah sistem Khilafah mewujudkan harapan-harapan manusia yang gagal diwujudkan demokrasi? Kita tentu menjawab dengan tegas: sistem Khilafah pasti mampu.

Pertama: menjamin kebenaran yang hakiki. Demokrasi telah gagal dalam hal ini. Klaim suara rakyat adalah suara Tuhan dan menganggap suara mayoritas rakyat adalah suara kebenaran tidak terbukti. Bagaimana suara mayoritas rakyat Amerika bagian utara yang melegalkan perbudakan pada abad ke-19 dianggap benar. Demikian juga, sulit diterima sebagai sebuah kebenaran ketika mayoritas wakil rakyat lewat proses demokrasi melegalkan penghinaan terhadap manusia apalagi manusia yang mulia seperti Rasululllah saw., perkawinan homoseksual dan lesbian. termasuk serangan terhadap Irak, Afganistan yang telah membunuh ratusan ribu orang yang dilegalkan lewat suara mayoritas rakyat.

Adapun Islam menawarkan sebuah sistem yang sempurna karena berasal dari Zat Yang Mahasempurna, yaitu Allah SWT. Memang, mungkin saja terjadi penyimpangan dari pelaksaan sistem yang sempurna ini. Namun, dari segi sumbernya sistem Khilafah ini adalah yang terbaik. Sebaliknya, demokrasi sejak dasarnya saja sudah bermasalah ketika kebenaran diserahkan kepada manusia.

Kedua: memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat, memilih pemimpinnya sendiri, berekspresi, mengkritik sesuatu yang keliru. Demokrasi memang mengklaim telah memenuhi seluruh harapan ini. Namun, nilai-nilai liberal kemudian menjadi pilarnya. Akibatnya, kebebasan yang ditawarkan menjadi kebablasan dan mengancam masyarakat sendiri. Bukankah atas dasar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul, kelompok-kolompok homoseksual dan pelaku-pelaku pornografi menginginkan eksistensinya diakui? Ahmadiyah, Lia Eden, dan aliran sesat lainnya pun minta diakui dengan berdalih pada kebebasan?

Di sisi lain, kebebasan yang ditawarkan demokrasi mengidap penyakit hipokrit (standar ganda). Mengklaim kebebasan beragama tetapi melarang pemakaian cadar, jilbab, atau burqa di Eropa. Klaim menghargai pilihan rakyat, tetapi menghadang kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina, yang sebenarnya menang secara demokratis. Boleh menghujat Nabi Muhammad sekalipun, tetapi siapa pun yang mempertanyakan kebenaran holocaust dikriminalkan. Sudah pula menjadi rahasia umum, terdapat pengekangan terhadap media baik lewat sensor internal pemilik modal media ataupun pemerintah.

Sebaliknya, sistem Islam memberikan ruang bagi masyarakat seluas-luasnya, namun tetap dalam kerangka hukum syariah yang menjadi standar acuan. Dalam sistem Khilafah, kepala negara atau Khalifah dipilih oleh rakyat dengan berdasarkan keridhaan mereka. Mengkritik penguasa yang menyimpang dalam Islam bukan hanya hak, tetapi sekaligus merupakan kewajiban. Pahala sangat besar pun diberikan kepada mereka yang syahid mengkritik penguasa dengan sebutan sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad) dan pemimpin para syuhada.

Terdapat juga Mahkamah Mazhalim yang akan menyelesaikan persengketan antara rakyat dan penguasa, kalau rakyat menganggap kebijakan penguasa telah merugikan mereka. Mahkamah Mazhalim juga akan meluruskan keputusan-keputusan Khalifah yang bertentangan dengan hukum syariah.

Adapun Majelis Ummah, tempat tokoh-tokoh yang merupakan representasi dari masyarakat, bisa mengkritik penguasa atau memberikan masukan kepada Khalifah (musyawarah).

Perbedaan pendapat selama masih berlandaskan pada hukum syariah juga dibolehkan dalam Islam. Meskipun Khlifah bisa jadi mengadopsi salah satu pendapat Imam mazhab dalam pemerintahannya untuk diterapkan, perdebatan ilmiah tentang itu tetap saja dibiarkan. Inilah yang membuat dalam sistem Khilafah muncul berbagai mazhab, sebagai cerminan dari pengakuan perbedaan pendapat ini.

Ketiga: menjamin hak-hak mendasar manusia. Ini adalah sesuatu yang gagal dipenuhi oleh sistem demokrasi. Praktik pelanggaran HAM terbanyak dan terbesar justru dilakukan oleh negara-negara kampiun demokrasi seperti AS dan Inggris. Sebaliknya, penerapan syariah Islam akan menjaga nyawa manusia, keturunan, harta dan kehormatan. Di antaranya dengan menjatuhkan sanksi yang keras bagi pelaku pembunuhan, pencuri,pezina dll.

Keempat: menjamin kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Syariah Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah menjamin hal ini bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim. Rasulullah saw. menolak makelar hukum yang menginginkan agar perempuan bangsawan tidak dihukum. Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan kalaupun anaknya Fatimah mencuri, beliau akan memotong tangannya. Khalifah Ali bin Thalib pernah kalah ketika memperkarakan seorang Yahudi dengan tuduhan telah mencuri baju perangnya. Saat itu hakim menilai Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak memilik saksi yang bisa diterima oleh hukum.

Kelima: membuat kebijakan yang pro rakyat. Demokrasi gagal mewujudkan hal ini. Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro kepada pemilik modal daripada rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis demokrasi.

Sebaliknya, Khilafah melalui syariah Islam akan menutup pintu kejahatan ini. Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahtrakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem demokrasi.

Walhasil, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerima sistem Khilafah yang akan mewujudkan harapan-harapan manusia. Selain itu, karena menegakkan Khilafah adalah kewajiban agama kita. Kalau ada sistem yang sempurna, mengapa kita tidak mengambilnya? [Farid Wadjdi]

Strategi Membendung Liberalisasi Ormas Islam

Strategi Liberalisasi Ormas Islam

Strategi liberalisasi organisasi Islam dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama: Infiltrasi pemikiran-pemikiran liberal ke dalam organisasi-organisasi Islam melalui agen-agen liberal. Strategi ini adalah strategi baku untuk meliberalisasi organisasi-organisasi Islam. Sebagai ilustrasi sederhana, pada tahun 70-an, Fazlur Rahman dan Leonard Binder—agen pemikiran liberal—berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan intelektual muda. Dari pertemuan-pertemuan itu, Fazlur Rahman berhasil menancapkan pengaruh-pengaruh pemikiran liberalnya. Tokoh liberal yang bersinggungan langsung dengan pemikiran dan pribadi Fazlur Rahman adalah Nurcholis Madjid. Melalui Nurcholislah, pemikiran-pemikiran liberal ditularkan kepada tokoh-tokoh lain yang dipersiapkan dengan pemikiran-pemikiran liberal Barat, dan di-support penuh untuk memimpin dan mengendalikan ormas terbesar di Indonesia (Muhammadiyah dan NU) secara pemikiran.

Melalui agen-agen Barat inilah, pemikiran-pemikiran liberal mulai merasuki dan meracuni ormas dan organisasi Islam. Selanjutnya, agen-agen ini merekrut dan mengkader intelektual-intelektual muda di organisasi-organisasi tersebut untuk memperkuat perjuangan mereka. Tidak hanya itu, mereka juga meminggirkan tokoh-tokoh yang melawan paham liberalisme-sekularisme dari tubuh organisasi-organisasi Islam itu. Mereka menutup mobilitas vertikal kaum intelektual Islam yang lebih fakih dan wara’ daripada mereka hingga tidak bisa meraih pucuk kendali organisasi. Terpilihnya Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU menjadi contoh dan bukti paling baik untuk poin ini. Melalui orang-orang tertentu yang berpikiran liberal pelan tapi pasti, organisasi massa terbesar di Indonesia ini, mulai dibombardir dengan paham-paham liberal. Di organisasi Muhammadiyah, terpilihnya Syafi’i Ma’arif menjadi Ketua Umum Muhammadiyah juga menandai keberhasilan strategi infiltrasi ini. Pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah, dan khurafat) dan kembali pada syariah (al-Quran dan as-Sunnah) yang menjadi isu sentral dakwah Muhammadiyah mulai terdengar sayup-sayup dan nyaris menghilang. Continue reading “Strategi Membendung Liberalisasi Ormas Islam”

Perdagangan Bebas Menurut Islam

Pengokohan Dominasi Kaum Neolibertarian

Di tengah kondisi perekonomian nasional yang masih karut-marut, Pemerintah tetap ngotot memberlakukan China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) sejak tanggal 1 Januari 2010 lalu. Seperti halnya kebijakan-kebijakan sebelumnya—semacam kebijakan panghapusan subsidi, pengetatan fiskal, reformasi perpajakan, dan privatisasi BUMN—kebijakan pasar bebas tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian orang, terutama kaum neolibertarian, percaya sepenuhnya bahwa pasar bebas berhubungan langsung dengan penciptaan kesejahteraan rakyat.

Continue reading “Perdagangan Bebas Menurut Islam”

Kerapuhan Sistem Finansial Kapitalis

Oleh : H. Dwi Condro Triono, SP., M.Ag**

1. PENDAHULUAN

Aktivitas ekonomi senantiasa berputar dalam dua kelompok pasar. Pasar yang pertama disebut pasar barang, yang terdiri dari pasar barang dan jasa. Pasar yang kedua disebut pasar faktor produksi, yang terdiri dari pasar lahan, pasar tenaga kerja dan pasar keuangan. Keberadaan pasar faktor produksi tentu saja adalah untuk mendukung keberadaan pasar barang.

Namun, dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalisme, ada pasar salah satu dari pasar faktor produksi yang mengalami perkembangan teramat pesat. Pasar tersebut tidak lain adalah pasar keuangan atau yang biasa dikenal dengan financial market. Pesatnya perkembangan pasar ini bahkan sampai mengakibatkan pasar ini terlepas dari induknya, kemudian menjadi pasar yang berkembang sendiri. Keberadaan pasar ini kemudian dikenal dengan pasar non riil, sebagai lawan dari pasar riil atau pasar barang.

Keberadaan pasar keuangan ini berkembang dengan sangat luas dan sangat kompleks, sehingga menjadi sebuah pasar yang berjalan dengan sebuah mekanisme atau sistem yang teramat rumit. Sistem ini kemudian dikenal dengan sistem finansial/keuangan (financial system). [Image]